Ochamutz91's Blog











Hiperaktivitas adalah salah satu aspek dari Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau yang dikenal dengan istilah Attention Deficit with/without Hyperactivity Disorder (ADD/HD). GPPH mencakup gangguan pada tiga aspek, yaitu sulit memusatkan perhatian, hiperaktif, dan impulsivitas. Apabila gangguan hanya terjadi pada aspek yang pertama, maka dinamakan Gangguan Pemusatan Perhatian (ADD), sedangkan bila ketiga aspek terkena imbas gangguan barulah disebut GPPH (ADHD).

Anak-anak yang sulit memusatkan perhatian biasanya menampilkan ciri-ciri, seperti ceroboh, sulit berkonsentrasi, seperti tidak mendengarkan bila diajak bicara, gagal menyelesaikan tugas, sulit mengatur aktivitas, menghindari tugas yang memerlukan pemikiran, kehilangan barang-barang, perhatian mudah teralih, dan pelupa.

Sedangkan, ciri-ciri dari hiperaktivitas adalah terus-menerus bergerak, memainkan jari atau kaki saat duduk, sulit duduk diam dalam waktu yang lama, berlarian atau memanjat secara berlebihan yang tidak sesuai dengan situasi, atau berbicara berlebihan. Sementara itu, impulsivitas ditampilkan dalam perilaku yang langsung menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan, sulit menunggu giliran dan senang menginterupsi atau mengganggu orang lain.

Bukan penyakit

Sydney Walker III, Direktur Institut Neuropsikiatris California Selatan, dalam bukunya Hyperactivity Hoax, menyatakan bahwa kesalahan mendasar dalam penanganan GPPH adalah memandangnya sebagai suatu diagnosa. GPPH bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala yang dapat disebabkan oleh beragam penyakit dan gangguan.

Ambillah contoh, pusing. Pusing bukanlah penyakit tetapi suatu gejala. Pusing bisa merupakan gejala influenza. Juga bisa disebabkan terlambat makan, tekanan darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Atau, bahkan bisa merupakan gejala tumor otak. Memberikan satu obat yang sama untuk semua gejala pusing, jelas tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan dapat memperburuk kondisi pasien.

Demikian pula halnya dengan GPPH. Tidaklah tepat bila memberikan obat atau pendekatan yang sama kepada semua anak yang mengalami GPPH, tanpa memahami terlebih dahulu penyakit atau gangguan yang melatarbelakanginya.

Faktor penyebab

GPPH dapat muncul sebagai efek dari adanya infeksi bakteri, cacingan, keracunan logam dan zat berbahaya (Pb, CO, Hg), gangguan metabolisme, gangguan endoktrin, diabetes, dan gangguan pada otak. Dengan mengatasi penyakit atau gangguan yang melatarbelakanginya, maka hiperaktivitas pun dapat tertanggulangi.

Penyakit keturunan seperti Turner syndrome, sickle-cell anemia, fragileX, dan Marfan syndrome juga dapat menimbulkan GPPH. Itulah sebabnya mengapa GPPH juga dapat ditemukan dalam garis darah keluarga turun-temurun. Dalam kasus seperti ini, GPPH dapat dikurangi dengan menghindari hal-hal yang menjadi keterbatasan mereka.

Selain itu, masalah dalam integrasi sensorik serta gangguan persepsi dapat melatarbelakangi timbulnya GPPH. Terkait dengan masalah ini diperlukan terapi khusus yang terfokus pada kekurangan tiap individu.

GPPH juga dapat bersumber pada gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi minuman berkafein (kopi, teh, coklat, cola, dan lain-lain) yang berlebihan, pola makan dengan gizi tak seimbang, serta kuantitas dan kualitas tidur yang kurang memadai disebut-sebut sebagai faktor yang turut menyumbang munculnya masalah ini.

Terkadang GPPH hanyalah dampak dari pola kehidupan yang kurang disiplin. Tanpa kedisiplinan yang konsisten, akhirnya mereka tumbuh menjadi anak-anak yang malas, sembrono, sulit mengendalikan diri, dan mematuhi peraturan. Untuk menanganinya diperlukan modifikasi perilaku dan kesediaan orangtua untuk mengubah pola asuh mereka. Dalam hal ini, psikolog memegang peranan yang penting untuk merancang program modifikasi perilaku dan memotivasi orangtua dalam menciptakan pola asuh yang lebih tepat.

Stimulan

Sebagian besar anak-anak yang mengalami GPPH mendapat perawatan medis berupa obat-obatan stimulan. Stimulan dipercaya dapat meningkatkan produksi dopamine dan norepinephrine, yaitu neurotransmiter otak yang penting untuk kemampuan memusatkan perhatian dan mengontrol perilaku. Ritalin dengan kandungan methylphenidate adalah salah satu stimulan yang paling banyak diresepkan.

Sementara mengonsumsi stimulan, anak akan mengikuti terapi dan modifikasi perilaku. Setelah terapi dan modifikasi perilaku membuahkan hasil, dosis stimulan akan dikurangi secara bertahap sampai akhirnya lepas obat sama sekali. Demikian pendekatan yang paling banyak digunakan selama ini. C Keith Conners PhD membuktikan efektivitas pendekatan ini melalui penelitiannya yang disponsori oleh Institut Kesehatan Mental Nasional Amerika (NIMH).

Di sisi lain, banyak juga pihak yang menentang pendekatan ini. Salah satunya adalah gerakan Alternative Mental Health di Amerika. Mereka memandang stimulan lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Para pakar yang bergabung dalam gerakan ini dengan giat melakukan penelitian tentang peranan nutrisi, diet, dan herbal untuk mengatasi GPPH. Hasil penelitian mereka dapat dipantau melalui situs http://www.alternativementalhealth.com.

Alasan yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Sydney Walker III yang juga menentang penggunaan stimulan. Sydney mengingatkan, bahwa GPPH adalah sekumpulan gejala yang dilatarbelakangi beragam penyakit dan gangguan, sehingga tidaklah tepat menyamaratakan penanganannya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa belum ada penelitian tentang efek jangka panjang stimulan. Penelitian Conners yang dianggap terhebat sekalipun hanya berlangsung dalam waktu 14 bulan.

Bahkan, Sydney mulai melihat kecenderungan anak-anak yang mengonsumsi stimulan tertentu lebih mudah menjadi pecandu narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) di usia dewasa. Selain struktur biokimia-nya yang mirip dengan kokain, konsumsi stimulan membuat anak-anak terbiasa mencari jalan keluar yang instan. Kurt Cobain-penyanyi grup Rock Nirvana yang tewas bunuh diri-diangkat oleh Sydney sebagai contoh anak hiperaktif yang mendapatkan penanganan yang salah. Ia terjerat narkoba sampai akhir hayatnya.

Penanganan

Apa pun bentuk penanganan yang Anda pilih, dengan atau tanpa obat, hal utama yang perlu diperhatikan adalah menerima dan memahami kondisi anak. Orangtua dan pendidik perlu memahami bahwa tingkah laku si anak yang tidak pada tempatnya didasari oleh keterbatasan dan gangguan yang ia alami.

Bukan berarti orangtua dan pendidik lantas mengabaikan kedisiplinan, melainkan anak dibantu untuk memenuhi peraturan. Misalnya, agar anak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya, bagilah tugas ke dalam beberapa bagian kecil (beberapa nomor), tetapkan pula batas waktunya dengan jelas. Usahakan agar ruang belajar bebas dari gangguan, seperti suara, pernak-pernik maupun orang-orang yang hilir mudik. Menempatkan anak di barisan paling depan dan memberikan tepukan lembut juga dapat membantunya untuk memusatkan perhatian.

Berbagai tips praktis di atas, tentu saja tidak akan bermanfaat, apabila penyebab dasarnya belum teridentifikasi. Untuk itu diperlukan kerja sama tim yang terdiri dari dokter, dokter spesialis, psikolog, psikiater, guru dan orangtua dalam proses identifikasi. Sesudah masalah teridentifikasi dengan jelas, program penanganan dapat dirancang dengan akurat.

Pada beberapa kasus, anak-anak dengan gangguan ini membutuhkan terapi, seperti terapi remedial, terapi integrasi sensori, maupun terapi lain yang sesuai dengan kebutuhannya. Pusat-pusat terapi semacam ini telah banyak berdiri, meskipun terbatas di kota-kota besar di Indonesia.

Ketekunan, konsistensi, kerja sama dan sikap mau mengubah diri sangatlah dituntut dari pihak orangtua dan pendidik. Dengan kasih sayang yang tulus, telah banyak orangtua dan pendidik yang berhasil membantu anak-anaknya mengatasi masalah mereka. Jadi, hiperaktif bukanlah masalah tanpa jalan keluar.

http://www.childcare-center.com/masalah/gpph.html



{Mei 29, 2010}   Retardasi Mental

Keterbelakangan Mental (Retardasi MentalRM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri (berpelilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun.
Orang-orang yang secara mental mengalami keterbelakangan, memiliki perkembangan kecerdasan (intelektual) yang lebih rendah dan mengalami kesulitan dalam proses belajar serta adaptasi sosial.
3% dari jumlah penduduk mengalami keterbelakangan mental.

PENYEBAB
Tingkat kecerdasan ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan.
Pada sebagian besar kasus RM, penyebabnya tidak diketahui; hanya 25% kasus yang memiliki penyebab yang spesifik.
Secara kasar, penyebab RM dibagi menjadi beberapa kelompok:

1. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)
– Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir
– Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau sesudah lahir
– Cedera kepala yang berat

2. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)
– Rubella kongenitalis
– Meningitis
– Infeksi sitomegalovirus bawaan
– Ensefalitis
– Toksoplasmosis kongenitalis
– Listeriosis
– Infeksi HIV

3. Kelainan kromosom
– Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindroma Down)
– Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuhsindroma Angelmansindroma Prader-Willi)
– Translokasi kromosom dan sindroma cri du chat

4. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan
– Galaktosemia
– Penyakit Tay-Sachs
– Fenilketonuria
– Sindroma Hunter
– Sindroma Hurler
– Sindroma Sanfilippo
– Leukodistrofi metakromatik
– Adrenoleukodistrofi
– Sindroma Lesch-Nyhan
– Sindroma Rett
– Sklerosis tuberosa

5. Metabolik
– Sindroma Reye
– Dehidrasi hipernatremik
– Hipotiroid kongenital
– Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik)

6. Keracunan
– Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil
– Keracunan metilmerkuri
– Keracunan timah hitam

7. Gizi
– Kwashiorkor
– Marasmus
– Malnutrisi

8. Lingkungan
– Kemiskinan
– Status ekonomi rendah
– Sindroma deprivasi.

GEJALA
Tingkatan Retardasi Mental

Tingkat Kisaran IQ Kemampuan Usia Prasekolah
(sejak lahir-5 tahun)
Kemampuan Usia Sekolah
(6-20 tahun)
Kemampuan Masa Dewasa
(21 tahun keatas)
Ringan 52-68 -Bisa membangun kemampuan sosial & komunikasi

-Koordinasi otot sedikit terganggu

-Seringkali tidak terdiagnosis

-Bisa mempelajari pelajaran kelas 6 pada akhir usia belasan tahun

-Bisa dibimbing ke arah pergaulan sosial

-Bisa dididik

Biasanya bisa mencapai kemampuan kerja & bersosialisasi yg cukup, tetapi ketika mengalami stres sosial ataupun ekonomi, memerlukan bantuan
Moderat 36-51 -Bisa berbicara & belajar berkomunikasi

-Kesadaran sosial kurang

-Koordinasi otot cukup

-Bisa mempelajari beberapa kemampuan sosial & pekerjaan

-Bisa belajar bepergian sendiri di tempat-tempat yg dikenalnya dengan baik

-Bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dengan melakukan pekerjaan yg tidak terlatih atau semi terlatih dibawah pengawasan

-Memerlukan pengawasan & bimbingan ketika mengalami stres sosial maupun ekonomi yg ringan

Berat 20-35 -Bisa mengucapkan beberapa kata

-Mampu mempelajari kemampuan untuk menolong diri sendiri

-Tidak memiliki kemampuan ekspresif atau hanya sedikit

-Koordinasi otot jelek

-Bisa berbicara atau belajar berkomunikasi

-Bisa mempelajari kebiasaan hidup sehat yg sederhana

-Bisa memelihara diri sendiri dibawah pengawasan

-Dapat melakukan beberapa kemampuan perlindungan diri dalam lingkungan yg terkendali

Sangat berat 19 atau kurang -Sangat terbelakang

-Koordinasi ototnya sedikit sekali

-Mungkin memerlukan perawatan khusus

-Memiliki beberapa koordinasi otot

-Kemungkinan tidak dapat berjalan atau berbicara

-Memiliki beberapa koordinasi otot & berbicara

-Bisa merawat diri tetapi sangat terbatas

-Memerlukan perawatan khusus

Anak dengan MR ringan (IQ 52-68) bisa mencapai kemampuan membaca sampai kelas 4-6. Meskipun memiliki kesulitan membaca, tetapi mereka dapat mempelajari kemampuan pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka memerlukan pengawasan dan bimbingan serta pendidikan dan pelatihan khusus.
Biasanya tidak ditemukan kelainan fisik, tetapi mereka bisa menderita epilepsi.
Mereka seringkali tidak dewasa dan kapasitas perkembangan interaksi sosialnya kurang.
Mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru dan mungkin memiliki penilaian yang buruk.
Mereka jarang melakukan penyerangan yang serius, tetapi bisa melakukan kejahatan impulsif.
Anak-anak dengan RM moderat (IQ 36-51) jelas mengalami kelambatan dalam belajar berbicara dan keterlambatan dalam mencapai tingkat perkembangan lainnya (misalnya duduk dan berbicara). Dengan latihan dan dukungan dari lingkungannya, mereka dapat hidup dengan tingkat kemandirian tertentu.
Anak-anak dengan RM berat (IQ 20-35) dapat dilatih meskipun agak lebih susah dibandingkan dengan RM moderat.
Anak-anak dengan RM sangat berat (IQ 19 atau kurang) biasanya tidak dapat belajar berjalan, berbicara atau memahami.
Angka harapan hidup untuk anak-anak dengan RM mungkin lebih pendek, tergantung kepada penyebab dan beratnya RM. Biasanya, semakin berat RMnya maka semakin kecil angka harapan hidupnya.

DIAGNOSA
Seorang anak RM menunjukkan perkembangan yang secara signifikan lebih lambat dibandingkan dengan anak lain yang sebaya.
Tingkat kecerdasan yang berada dibawah rata-rata bisa dikenali dan diukur melalui tes kecerdasan standar (tes IQ), yang menunjukkan hasil kurang dari 2 SD (standar deviasi) dibawah rata-rata (biasanya dengan angka kurang dari 70, dari rata-rata 100).

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan yang utama adalah mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin.
Sedini mungkin diberikan pendidikan dan terapi khusus, yang meliputi pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi senormal mungkin.
Pendekatan perilaku sangat penting dalam memahami dan bekerja sama dengan anak RM.

http://www.childcare-center.com/masalah/retardasi-mental.html



{Mei 29, 2010}   Gangguan Bicara dan Bahasa

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak.  Kurangnya stimulasi akan dapat menyebabkan gangguan berbicara dan berbahasa bahkan gangguan ini dapat menetap.

Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otak, otot atau organ pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan. Deprivasi lingkungan terdiri dari lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya.

Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal lain  dapat juga di sebabkan karena diluar organ tubuh seperti lingkungan yang kurang mendapatkan stimulasi yang cukup atau pemakaian dua bahasa. Bila penyebabnya karena lingkungan biasanya keterlambatan yang terjadi tidak terlalu berat.

Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya adalah retardasi mental, gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi. Keterlambatan maturasi ini sering juga disebut keterlambatan bicara fungsional.

Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering  dialami oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan keterlambatan maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan bicara golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara pada anak. Gangguan ini sering dialami oleh laki-laki dan sering terdapat riwayat keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2 tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan penderita dengan keterlambatan ini, kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal seperti anak lainnya.

Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan kemampuan pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak hanya mengalami gangguan perkembangan ringan dalam fungsi ekspresif. Ciri khas lain adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis, gangguan pendengaran, gangguan kecerdasan dan gangguan psikologis lainnya.

http://www.childcare-center.com/masalah/ganguan-bicara.html



Developmental Disorder Multiplex

Sejak pertama kali diakui autisme, kontinuitas dengan skizofrenia telah menjadi bahan perdebatan. Bahkan, sampai akhir 1970-an, anak-anak dengan autisme sering dicap sebagai memiliki “skizofrenia masa kanak-kanak.” Dalam tiga puluh tahun terakhir, bagaimanapun, istilah “skizofrenia masa kanak-kanak” telah mengungsi. kriteria diagnostik untuk autisme telah ditetapkan bahwa hanya mengandalkan sosial, komunikatif dan gejala sensorimotor, tanpa mengacu pada gangguan pemikiran khas skizofrenia.

Namun demikian, ada beberapa anak yang menampilkan defisit sosial dan komunikatif parah, awal-muncul karakteristik autisme yang menampilkan beberapa JUGA ketidakstabilan emosional dan proses berpikir beraturan yang menyerupai gejala skizofrenia. Cohen, et al. (1986) yang menciptakan istilah Developmental Disorder Multiplex (MDD) untuk menggambarkan anak-anak, walaupun mereka sering diberi diagnosis PDD-NOS oleh dokter yang mungkin belum terbiasa dengan terminologi ini. Tidak seperti skizofrenia, gejala MDD muncul di awal masa kanak-kanak, sering di tahun-tahun pertama kehidupan, dan bertahan sepanjang pembangunan. Diagnostik kriteria untuk MDD meliputi:

1. Gangguan perilaku sosial / sensitivitas, mirip dengan yang terlihat pada autisme, seperti:
* Tertarik Sosial
* Detasemen, menghindari orang lain, atau penarikan
* Hubungan peer Gangguan
* Sangat ambivalen lampiran
* Terbatas kapasitas untuk berempati atau memahami apa yang dipikirkan orang lain atau perasaan
2. Afektif gejala, termasuk:
* Gangguan regulasi perasaan
* Intense kecemasan, tidak pantas
* Berulang panik
* Emosional lability, tanpa penyebab yang jelas
3. Pemikiran gejala gangguan, seperti:
* Mendadak, gangguan yang tidak rasional pada pikiran normal
* Magical berpikir
* Kebingungan antara realitas dan fantasi
* Delusions seperti pikiran paranoid atau fantasi kekuasaan khusus

Anak-anak yang menunjukkan bukti gejala dari TIGA SEMUA kategori ini dapat diklasifikasikan sebagai memiliki MDD.

Saat ini, MDD adalah kategori penelitian, tanpa implikasi pendidikan atau pengobatan khusus. Karena kita tahu begitu sedikit tentang gangguan ini, terlalu dini untuk menyarankan intervensi khusus. Anak-anak dengan gejala MDD harus ditangani dengan individual program pendidikan khusus dikembangkan dalam kerjasama dengan orangtua, guru, dan tim multidisiplin untuk mengatasi kekuatan yang unik dan kebutuhan mereka. Orang tua harus berkonsultasi dengan psikiater anak lokal untuk menentukan apakah obat mungkin berguna dalam mengobati gejala-gejala gangguan afektif terlampir dan berpikir.

http://4yu8.wordpress.com/2010/04/26/multiplex-developmental-disorder/



Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusi secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inkulsi terdapat anak luar biasa yang mengalami hambatan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusi di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus menerapkan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan hambatan yang dimiliki oleh anak luar biasa.

A. Prinsip-prinsip Pembelajaran Secara Umum

  1. Prinsip motivasi

Dalam pelaksanaan pembelajaran guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran.

  1. Prinsip latar/konteks

Guru harus mengenal dan mngetahui latar belakang siswa secara lebih mendalam, dalam proses pembelajaran penggunaan contoh-contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, serta menghindari pengulangan yang tidak diperlukan jika anak sudah mampu memahami sesuatu yang dipelajari.

  1. Prinsip keterarahan

Sebelum melakukan pembelajaran guru diharuskan untuk merumuskan lalu menjelaskan tujuan yang akan dicapai setelah pembelajaran selesai dilakukan, kemudian menyiapkan bahan dan alat yang sesuai dengan materi yang diberikan serta menggunakan strategi pembelajaran yang dapat mempermudah siswa dalam memahami materi yang diberikan.

  1. Prinsip hubungan sosial

Interaksi antar guru dengan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan dan seterusnya sangat dibutuhkan dalam mengoptimalkan pembelajaran yang diberikan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.

  1. Prinsip belajar sambil bekerja

Dalam melakukan pembelajaran siswa harus banyak diberikan kesempatan untuk melakukan percobaan atau praktek sesuai dengan materi yang ada, siswa diharapkan dapat menemukan pengertiannya dalam psoses pembelajaran sehingga hasil belajar yang dicapai dapat lebih bermakna.

  1. Prinsip Individualisasi

Kemampuan guru dalam mengenali dan memahami siswa secara individu baik kelebihan ataupu kelemahan siswa dapat diketahui oleh guru,sehingga dalam melakukan pembelajaran guru tidak menyamakan kemampuan siswa sehingga masing-masing siswa mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sesuai dengan kemampuannya.

  1. Prinsip menemukan

Guru diharuskan mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing dan melibatkan siswa untuk aktif, baik secara fisik, mental, sosial, dan emosional.

  1. Prinsip pemecahan masalah

Hendaknya pembelajaran yang dilakukan mengandung unsur pemecahan masalah sehingga siswa dilatih untuk berfikir, merumuskan, mengumpulkan data dan menganalisis serta menyelesaikan permasalahan yang ada.

  1. Prinsip kasih sayang

Pembelajaran yang dilakukan hendaknya tidak mengesampingkan prinsip kasih sayang sehingga siswa merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam belajar, tanpa merasa takut dan tertekan.

B. Prinsip-prinsip Pembelajaran Secara Khusus Bagi Anak Tunarungu
Pembelajaran yang dilakukan bagia siswa mendengar berbeda dengan pembelajaran bagi anak tunarungu, anak tunarungu lebih mengandalkan visualnya serta pembelajaran dapat mudah dipahami jika guru melakukan prinsip-prinsip di bawah ini:

  1. Prinsip keterarahwajahan

Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga wajah guru khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun, sehingga anak tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan penjelasan sambil berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.

  1. Prinsip keterarahsuaraan

Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.

  1. Prinsip Intersubyektifitas

Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang penting harus dapat membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh anak dengan perantara visualnya harus segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.

  1. Prinsip kekonkritan

Dalam memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan anak tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena minimnya bahasa yang dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh nyata dan yang mudah dipahami.

  1. Prinsip Visualisasi

Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera penglihatannya anak tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu semua pembelajaran yang diberikan oleh guru hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang bercerita tentang materi yang diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk memudahkan anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.

  1. Prinsip Keperagaan

Setiap kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak tunarungu betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau mempraktekkannya akan lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang diajarkan serta upayakan semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman oleh anak sehingga anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.

  1. Prinsip pengalaman yang menyatu

Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak tunarungu untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan hubungan-hubungan yang ada.

  1. Prinsip belajar sambil melakukan

Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu, untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih bermanfaat dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.

http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-rungu



Sebelum melakukan penempatan anak berkebutuhan khusus di dalam kelas inklusi, sebaiknya dilakukan identifikasi dan asesmen terlebih dahulu. Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara bergantian. Identifikasi merupakan tahapan awal yang masih bersifat global/kasar, identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan anak berkebutuhan khusus yang mengalami penyimpangan, kelainan, hambatan baik secara fisik, intelektual, sosial, emosional dan tingkah laku dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai.

Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang memerlukan layanan pendidikan khusus melalui program pendidikan inklusi. Selanjutnya jika sudah diidentifikasi lalu ditemukan anak tunarungu dengan derajat ketulian misalnya 90 dB, barulah dilanjutkan dengan asesmen.

Dengan asesmen akan diketahui kelemahan/kesulitan anak dalam hal tertentu, serta diketahui pula kekuatan/potensi/kemampuan yang masih dapat dikembangkan juga kebutuhan layanan khusus yang diperlukan untuk mengatasi hambatan yang dimiliki anak. Setelah dilakukan asesmen dan diketahui kelebihan serta kelemahan anak, barulah guru dapat menempatkan anak tunarungu berdasarkan kemampuan bahasa yang dimilikinya, selain itu dengan hasil asesmen guru dapat membuat program pembelajaran yang sesuai dengan potensi yang dimiliki anak. Dengan program tersebut diharapkan pembelajaran yang dilakukan anak tunarungu dapat bermakna.

Setelah dilakukan asesmen barulah dilakukan penempatan dengan program pembelajaran individual (PPI).Penempatan anak tunarungu di sekolah inklusi di Indonesia pada dasarnya lebih sama dengan model mainstreaming seperti pendapatVaughn,Bos & Schumn (2000),yaitu:

  1. Kelas regular (inklusi penuh)

Anak tunarungu belajar bersama dengan anak mendengar sepanjang hari di kelas regular dengan menggunakan kkurikulum yang sama.

  1. Kelas regular dengan cluster

Anak tunarungu belajar bersama dengan anak mendengar di kelas regular dengan kelompok khusus.

  1. Kelas regular dengan pull out

Anak tunarungu belajar bersama anak mendengar di kelas regular namun dalam waktu-waktu tertentu anak tunarungu ditarik dari kelas regular ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

  1. Kelas regular dengan cluster dan pull out

Anak tunarungu belajar bersama dengan anak mendengar di kelas regular dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

  1. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak tunarungu di dalam kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama dengan anak mendengar di kelas regular.

  1. Kelas khusus penuh

Anak tunarungu belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

Anak tunarungu di kelas inklusi hendaknya duduk dalam posisi tidak terhalang pandangannya untuk melihat mulut guru saat menjelaskan, sehingga prinsip keterarahwajahan dan keterarahsuaraan dapat dilakukan. Guru dalam memberi penjelasan tidak harus bersuara keras, yang paling penting adalah ujaran yang keluar dari mulut guru dapat jelas dan mudah ditangkap oleh anak tunarungu.

http://www.bintangbangsaku.com/content/penempatan-anak-tunarungu-di-kelas-inklusi



{Mei 29, 2010}   Konsep Sekolah Inklusi

Pendidikan Luar Biasa (Special Education) telah berkembang dari sistem segregasi (Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Khusus) dimana layanan pendidikan bagi anak luar biasa diselenggarakan di sekolah luar biasa atau sekolah khusus yang terpisah dari teman sebaya pada umumnya, dengan layanan pendidikan yang sama bagi semua tanpa membedakan perbedaan individual. Secara berangsur-angsur sistem berkembang sampai sesepenuhnya integrasi (terpadu) yaitu dimana anak luar biasa diterima di sekolah regular dengan keharusan anak menyesuaikan kurikulumyang digunakan oleh sekolah tersebut, pada mata pelajaran tertentu anak luar biasa ada di kelas khusus hingga anak luar biasa berada di dalam kelas biasa dengan bimbingan khusus untuk mata pelajaran tertentu.

Layanan pendidikan bagi anak luar biasa mengalami banyak perubahan . Perubahan-perubahan dalam pendidikan bagi anak luar biasa ini termasuk perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Layanan pendidikan bagi anak luar biasa terus berkembang dan diperjuangkan agar anak luar biasa mendapatkan hak yang sama dengan anak pada umumnya dalam pendidikan. Muncullah pendidikan inklusi yang merupakan perkembangan terkini dari model bagi anak luar biasa yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.

Pendidikan inklusi memiliki pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menentang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar siswa-siswanya berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Pendidikan inklusi adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak luar biasa di sekolah atau lembaga pendidikan (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak) bersama dengan teman-teman sebayanya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.(Tim Pendidikan Inklusi Jawa Barat, 2003:4)

Pendapat lain mengatakan Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/ sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. (Pendidikan yang Terbuka Bagi Semua, Djuang Sunanto, 2004:3)

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah:
1)Pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, emosional, sosial maupun kondisi lainnya.
2)Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar bersama-sama tanpa memandang perbedaan yang ada pada mereka.
3)Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan kemampuannya.
4)Pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di lembaga pendidikan dan tempat lainnya.

http://www.bintangbangsaku.com/content/konsep-sekolah-inklusi



Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:

  1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
  2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
  3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
  4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
  5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
  6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.

Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).

Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.

Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.

  1. Kegiatan Percakapan

Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).

Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.

Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya.

Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.

Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.

  1. BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi

Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.

Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem… brem… brem…’ benar begitu ?”.Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi

Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut :

  • Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
  • Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
  • Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
  • Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
  • Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.

Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana BKPBI mencakup :

  1. Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
  2. Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
  3. Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
  4. Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.

Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. strong>BKPBI danBina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.

Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.

DAFTAR PUSTAKA

  • Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000)Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta
  • Departemen Pendidikan Nasional (2000)Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta
  • Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004)Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
  • Dardjowidjoyo, Soenjono (2003)Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Unika Atmajaya, Jakarta
  • Gatty (1994)Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
  • Griffey, Nicholas (1981)A Survey of Present Metods of Developing Language in Deaf Children
  • Hargrove, Linda and James Poteet (1984)Assessment in Special Education (the education evaluation), Prentice Hall. Inc, New Jersey
  • Nugroho Bambang (2004)Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta

http://www.bintangbangsaku.com/content/implementasi-model-pembelajaran-anak-tunarungu-di-kelas-inklusi



A. LATAR BELAKANG

Kesulitan belajar (learning disabilities) pada anak, bila tidak dideteksi secara dini dan tidak dilakukan terapi secara benar, bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Kepedulian orang tua yang tinggi dapat membantu dalam deteksi dini kesulitan belajar ( learning disabilities) pada anak. Ada dua jenis kesulitan belajar (learning disabilities), yaitu yang bersifat developmental dan yang bersifat akademis. Komponen utama dari developmental learning disabilities adalah perhatian, memori, persepsi, dan kerusakan persepsi motori, selain kerusakan berpikir dan kekurangan bahasa. Di dalam kelompok ini, sejumlah anak yang memiliki kesulitan belajar khusus ( specific learning difficulty, SpLD) atau kesulitan belajar akademis dideskripsikan sebagai mereka yang memiliki kesulitan dalam aspek bahasa, membaca, mengeja, dan matematika. Meskipun fungsi inteligensinya normal dalam arti intelektual, mereka mengalami kesulitan yang signifikan sekalipun tingkat kinerjanya secara umum baik.

Untuk selanjutnya, paper ini relatif banyak akan menjelaskan mengenai kesulitan menulis (disgrafia) terutama handwritingkarena kecenderungan yang terjadi saat ini, dimana banyak siswa-siswa Sekolah Dasar (permulaan SD, kelas I – III) yang mengalami kesulitan dalam menulis, bukan karena tulisan mereka yang buruk, mungkin cara dan strateginya yang belum tepat diterapkan pada siswa-siswa tersebut sehingga mereka mengalami kesulitan sewaktu menulis. Padahal, kemampuan menulis sangatlah diperlukan, baik dalam kehidupan di sekolah maupun di masyarakat guna keperluan penyelesaian tugas-tugas sekolah. Sedangkan, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang memerlukan kemampuan menulis untuk keperluan berkirim surat, mengisi formulir, ataupun membuat catatan. Jadi, menulis bukan hanya kegiatan menyalin tetapi juga mengekspresikan pikiran, ide, dan perasaan ke dalam lambang-lambang tulisan.

B. PEMBAHASAN

1. PENYEBAB

Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya. Namun, kita dapat mengenali ciri-ciri ataupun gejala-gejala yang muncul pada anak yang mengalami disgrafia, antara lain:

  1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
  2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
  3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
  4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
  5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
  6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
  7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
  8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

Setelah melihat adanya gejala, maka kita dapat mengidentifikasi untuk mengetahui penanganan selanjutnya karena menulis merupakan suatu proses dimana proses belajar menulis ini melibatkan rentang waktu yang panjang. Selain itu, proses belajar menulis tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan proses belajar berbicara dan membaca.

2. ASESMEN

Tujuan utama dalam pengajaran menulis adalah keterbacaan. Untuk dapat mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk tertulis, pertama-tama anak harus dapat menulis dengan mudah dan dapat dibaca. Oleh karena itu, perlu dilakukan asesmen. Asesmen itu sendiri dapat dilakukan secara tidak langsung dan asesmen langsung.

a) Asesmen Tidak Langsung

  • Untuk melakukan asesmen tidak langsung terhadap anak, kita dapat mengumpulkan informasi-informasi penting mengenai kemampuan mengeja dan menulis melalui asesmen secara langsung.
  • Analisa yang dilakukan harus relevan antara data yang ada dengan observasi langsung atau tidak teridentifikasi melalui observasi langsung yang didapat dan telah memenuhi informasi-informasi penting sebagai hipotesa akhir.
  • Persepsi Guru
  • Data yang ada: Sumber data bisa didapat dari berbagai sumber, antara lain: data dari sekolah, latihan yang diberikan, tanggapan guru, dan contoh tugas harian.
  • Mengatur dan mengklasifikasikan informasi yang didapat melalui asesmen secara tidak langsung, hasilnya akan valid dan menjadi hipotesa apabila telah melalui asesmen secara langsung.
  • Lakukanlah pencatatan untuk menganalisa kesalahan dalam penulisan huruf yang dilakukan oleh siswa.

b) Asesmen Langsung

Asesmen secara langsung terdiri dari 3 bagian tugas yang harus dipenuhi, yaitu:

  • Melakukan observasi terhadap siswa dalam melakukan pembelajaran di dalam kelas.
  • Melakukan interview pada siswa.
  • Mengatur dan menjelaskan tes secara individual.

Form: Asesmen Handwriting

Tanggal Asesmen Tahap Perkembangan Tanggal Dicapai
Anak memasukkan krayon ke mulut dan meremas kertas
Anak menusukkan krayon ke kertas
Anak dapat mencoret scribbles secara acak
Anak dapat membuat coretan scribble secara spontan dengan arah vertikal
Anak dapat membuat coretan scribble secara spontan dengan arah vertikal
Anak dapat membuat scribble secara spontan dengan arah memutar
Anak dapat mengimitasi scribble dengan arah horisontal
Anak dapat mengimitasi scribble dengan arah vertikal
Anak dapat mengidentifikasikan posisi: kanan – kiri
Anak dapat mengidentifikasikan posisi: atas – bawah
Anak dapat mengidentifikasikan posisi: tengah
Anak mampu mengimitasi garis horisontal
Anak mampu mengimitasi garis vertikal
Anak mampu mengimitasi garis melingkar
Anak mampu mengkopi garis horizontal
Anak mampu mengkopi garis vertical
Anak mampu mengkopi lingkaran
Anak mampu mengimitasi tanda plus
Anak mampu mengkopi tanda plus
Anak mampu mengimitasi garis diagonal ke bawah dan ke atas dengan arah ke kanan
Anak mampu mengkopi garis diagonal ke bawah dan ke atas dengan arah ke kanan
Anak mampu mengimitasi bentuk kotak
Anak dapat mengkopi bentuk kotak
Anak mampu mengimitasi garis diagonal ke bawah dan ke atas dengan arah ke kiri
Anak mampu mengkopi garis diagonal ke bawah dan ke atas dengan arah ke kiri
Anak mampu mengimitasi tanda X
Anak dapat mengkopi tanda X
Anak mampu mengimitasi bentuk segitiga
Anak dapat mengkopi bentuk segitiga
Anak mampu mengimitasi bentuk belah ketupat
Anak dapat mengkopi bentuk belah ketupat

Tanggal Asesmen:

Komentar:

____________________________________________________________________________________________________________________________________

3. STRATEGI

Untuk para orang tua/guru/orang-orang yang dekat dengan anak, kesulitan belajar menulis (disgrapia) sering terkait dengan beberapa hal di bawah ini, antara lain :

  • Positioning => Untuk mendukung pada tulisan anak, ingatkan agar duduk dengan posisi yang benar karena kestabilan trunk akan mendukung pada kontrol lengan yang baik pula.
  • Ukuran Kursi yang Tepat => Ingatkan anak agar duduk dengan posisi:
  1. 1. kaki flat di lantai dan posisi paha paralel dengan lantai.
  2. 2. Pergelangan kaki, lutut, dan paha membentuk sudut 900.
  3. 3. Pastikan tempat duduk tidak terlalu lebar, sehingga anak dapat bersandar dengan nyaman. Lebar lutut belakang ke kursi sekitar 2″. Kita harus dapat meletakkan satu jari atau dua jari di sela paha dan kursi.
  4. 4. Pastikan sudut kursi tidak membuat anak mengarah ke belakang.
  • Posisi Kursi yang Benar => Pastikan anak duduk secara nyaman dan agak condong ke depan dan ke arah depan. Lengan saat diletakkan di atas meja berada di sudut 300.
  • Modifikasi => Pemberian alat Bantu bidang miring akan membantu anak supaya duduk lebih tegak, sehingga tidak banyak menekuk lehernya dan ketika sedang mengerjakan tugas pada bidang miring itu akan membuat secara otomatis ekstensi pergelangan tangannya sehingga mampu menulis.
  • Posisi kertas
    • Saat duduk dengan tepat, anak seharusnya meletakkan kertas di atas meja dan di bawah yang menulis membentuk formasi segitiga.
    • Sudut kertas seharusnya:
  1. 200-450, bagi anak yang tangan kanannya dominan.
  2. 300-450, bagi anak yang tangan kirinya dominan.

C . KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Menulis adalah salah satu komponen sistem komunikasi yang menggambarkan pikiran, perasaan, dan ide ke dalam bentuk lambang-lambang dan bahasa grafis. Menulis tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan proses belajar bicara dan membaca. Oleh sebab itu, untuk dapat mengkomunikasikan pikirannya dengan mudah dalam bentuk tertulis, anak harus dapat menulis dengan benar dan dapat dibaca.

Dengan demikian, pengajaran menulis pada tahap awal haruslah difokuskan pada cara memegang alat tulis dengan benar, menulis huruf cetak dan huruf bersambung dengan benar, dan menjaga jarak serta proporsi huruf secara benar dan konsisten.

Untuk itu, hal yang perlu diingat dalam mengajarkan menulis adalah kemampuan anak dalam keterampilan berbahasa lainnya, yaitu mendengarkan, berbicara, dan membaca haruslah ditingkatkan penguasaannya karena untuk dapat menulis dengan baik, seorang anak harus dapat berpikir, membaca, dan memahami bahasa orang lain secara logis dan rasional.

2 . SARAN

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua/guru untuk membantu anak yang mengalami gangguan ini, diantaranya:

  1. Memahami keadaan anak/siswa.
    Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua
  2. Meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
  3. Menyajikan tulisan cetak
    Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
  4. Membangun rasa percaya diri anak
    Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
  5. Latih anak untuk terus menulis
    Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.

D . BAHAN BACAAN

  1. Abdurrahman, Mulyono. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta
  2. Gunadi, Tri. Pelatihan Terapis di Hotel Marcopolo, Jakarta.
  3. http://www.bintangbangsaku.com/
  4. http://ld-online.com/
  5. http://members.aol.com/signwrite2/kids/
  6. Yusuf, Mumawir (2005). Pendidikan Bagi Anak Dengan Problema Belajar. Jakarta

http://www.bintangbangsaku.com/kumpulan-paper-dan-makalah/kesulitan-belajar-menulis



Istilah gangguan emosi dan kelainan perilaku sebenarnya lebih banyak digunakan oleh para psikiater dan psikolog. Perilaku menyimpang (behavioral impairment) merupakan istilah berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para pendidik. Variasi istilah ini berkaitan dengan perbedan pandangan terhadap aspek dan kelainan, seperti aspek emotional, social, behavior dan personal.

Rhoides menganjurkan pendekatan ekologi dalam memaknai gangguan gangguan perilaku. Ia menggambarkan ketidakstabilan emosi dan perilakulebih merupakan suatu produk budaya, masyarakat, dan lingkungan keluarga di mana orang itu ada sebagai individu hasil dari lingkungan tersebut. Para antropolog budaya telah mengenali bahwa perilaku normal dalam suatu budaya mungkin dianggap tidak normal oleh budaya lainnya. Dalam konteks Amerika, misalnya PL 94-142 mengajukan istilah ketidak stabilan emosi yang serius diambil untuk kategori ketidakmampuan ini. Istilah ini dipilih, paling tidak sebagian adalah untuk menegaskan bahwa ketidak stabilan emosi saja merupakan bagian pengalaman yang normal dari setiap orang.

Kelainan perilaku anak yang menyimpang dari perilaku normal, diakibatkan adanya pertentangan dengan orang dan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan dari mereka mempunyai skor rendah dalam belajar dan tes inteligensi. Prevalensi terjadinya anak-anak dengan hendaya perilaku menyimpang bervariasi, namun diperkirakan berkisar antara dua hingga 22 persen dari anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada anak perempuan.

Pendapat lain, bahwa privalensi dari anak dengan hendanya perilaku menyimpang berkisar lima hingga 20 persen atau bahkan lebih dari populasi anak usia sekolah ,em>(Kauffman, J.M., 1985:25). Adanya tekanan-tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak, ditambah dengan ketidakberhasilan anak bersangkutan dalam pergaulan lingkungannya seringkali menjadi penyebab perilaku-perilaku yang menyimpang. Dapat juga terjadi, bila seorang anak kurang memahami akan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat atau juga dapat terjadi oleh karena adanya suatu pendangan yang keliru terhadap sekelompok minoritas tertentu, dapat menjadi sebab anak yang suka melawan hukum atau aturan-aturan tertentu dan selalu memberontak untuk melawan orang yang berkuasa.

Perilaku sosio-adaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi dan melakukan penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-pengalaman hidup yang diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor sosio-adaptif antara lain perkembangan kedewasaan, penyesuaian sosial, dan kemampuan belajar. Jika seseorang mempunyai penyimpangan tingkat penyesuaian normal secara kronologis, dapat dipastikan menjadi anak yang kurang dapat menyesuaikan diri dan berperilaku menyimpang.

Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku menyimpang dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika seorang anak mempunyai masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih menekankan pada psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang anak menunjukkan penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat maka diperlukan penanganan dengan model perilaku, yaitu dengan cara memodifikasi untuk belajar berperilaku yang benar daripada membetulkan kasus-kasusnya.

Tipe perilaku yang tampak, merupakan refleksi-refleksi dari perasaan diri seperti marah, merasa sering menemui kegagalan, takut, frustasi, ketakutan tanpa sebab, konsep diri yang kurang, tidak merasa aman, penerimaan terhadap dirinya yang kurang, masalah-masalah identitas, merasa diacuhkan oleh orang lain. Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan dengan kegagalan dalam belajar dan berbicaranya gagap.

Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku menyimpang, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri.

Sikap bertahan diri, merupakan perilaku yang dilakukan untuk melindungi diri dari situasi berbahaya secara psikologis. Mekanisme ini selalu digunakan oleh semua orang dalam populasi secara umum tetapi bila digunakan secara berlebihan oleh seseorang maka ia mempunyai hendaya kelainan perilaku salah suai, karena cara-cara perlindungan diri sendiri yang dilakukannya dilakukan secara tidak wajar. Contohnya, suka menyalahkan orang lain bila dirinya melakukan kesalahan atau kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun atau berfantasi untuk lari dari kenyataan yang sebenarnya, tindakan-tindakannya selalu menggunakan alasan-alasan yang tidak masuk akal, adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan sering mendapatkan kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkan keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap kekurangan dirinya, menganggap dirinya seperti seseorang yang ia kagumi

Penggolongan anak tunalaras dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Menurut jenis gangguan atau hambatan

  1. Gangguan Emosi

Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekandan merasa cemas

  1. Gangguan Sosial

Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.

2. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:

  1. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
  2. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
  3. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.
  4. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
  5. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
  6. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.

Penyimpangan Perilaku atau Emosi (Emotional or Behavioral Disorders/ EBD) merujuk pada suatu kondisi di mana respon perilaku atau emosi dari seseorang di sekolah berbeda dari umumnya norma-norma yang diterima, sesuai-usia, etnis, atau kultural yang memberikan pengaruh buruk terhadap performansi pendidikannya di bidang seperti perawatan-diri, hubungan sosial, penyesuaian pribadi, kemajuan akademik, perilaku di ruang kelas, atau penyesuaian kerja. EBD lebih dari sekedar sebuah respon yang sementara dan diharapkan terhadap pemberi tekanan (stressors) dalam lingkungan anak atau pemuda serta akan bertahan bahkan dengan intervensi-intervensi pribadi, seperti umpan balik terhadap individu, konsultasi dengan orang tua dan keluarga, dan/atau modifikasi dari lingkungan pendidikan

Keputusan yang memenuhi syarat harus didasarkan pada berbagai sumber data tentang fungsi perilaku dan emosi individu. EBD harus ditunjukkan setidak-tidaknya dalam dua setting, yang salah satunya harus berkaitan dengan sekolah. EBD dapat muncul bersamaan dengan kondisi handikap yang lain seperti diuraikan pada bagian lain hukum ini [IDEA] … Kategori ini dapat meliputi anak-anak atau pemuda yang mengalami schizoprenia, penyimpangan kasih sayang (affective disorders), atau yang mengalami gangguan tingkah laku, perhatian, atau penyesuaian diri (Dewan bagi Anak-anak Berkelainan – Council for Exceptional Children, 1991, hal. 10)

Definisi yang baru diusulkan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan definisi federal:

  1. definisi tersebut memasukkan kecacatan (impairments) dari perilaku adaptif seperti terbukti pada perbedaan-perbedaan emosi, sosial, atau perilaku;
  2. definisi tersebut menggunakan standar asesmen normatif dari sumber yang bermacam-macam, termasuk pertimbangan faktor-faktor kultural dan/atau etnis;
  3. definisi tersebut memeriksa intervensi pra-referal dan usaha-usaha lain guna membantu anak-anak sebelum secara formal mereka diklasifikasikan sebagai cacat/disabled;
  4. definisi tersebut memiliki potensi untuk memasukkan anak-anak yang sebelumnya diberi label penyimpangan sosial dengan kata lain tak dapat menyesuaikan diri secara sosial atau tunalaras (maladjusted socially).

http://www.bintangbangsaku.com/content/mengenal-anak-tunalaras-dan-variasinya



et cetera